Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton Kasepuhan adalah kerajaan islam tempat para pendiri cirebon bertahta, disinilah pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon berdiri.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Sejarah
Keraton
Kasepuhan didirikan pada tahun 1430 oleh Sunan Gunung Jati yang wafat pada tahun 1568. Ia bersemayam di
Dalem Agung Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama 'Keraton
Pakungwati. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti
Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung
Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan
dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton
Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan
Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama
Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang
diadakan pada hari Sabtu
atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun
inilah dahulunya dilaksanakan juga pentas perayaan Negara lalu juga sebagai
tempat rakyat
berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan
pengumuman dari Sultan. Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang
cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di
sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar -- sekarang
adalah pasar kesepuhan yang
sangat terkenal dengan pocinya.
Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah
barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan
model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir.
Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung
pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Sebelum
memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo,
di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat
berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman
sekarang disebut pamong praja. Sedangkan
pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira
keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki
jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi
dengan tembok bata kokoh
disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa
Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi.
Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks
candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa
pemerintahan Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran
depan Siti Inggil terdapat meja batu
berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan
yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya
arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan
di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini
terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng
yang jika diartikan adalah tahun 1451.
saka yang
merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek
Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami
pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat
piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina
dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5
bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama
yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6
buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya
berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini
merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan
hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan
jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini
tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama
bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat.
Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan
utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan,
sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini
merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai
sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati),
gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri
dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu
yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti
laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu.
Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk
penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.by caruban nagari
Silsilah
- Sunan Gunung Jati (Syarief Hidayatullah)
- P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin)
- P. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning)
- Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin)
- P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam)
- Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya)
- P. Syamsudin Martawidjaja (Sultan Sepuh I)
- P. Djamaludin (Sultan Sepuh II)
- P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III)
- P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV)
- P. Sjafiudin/Sultan Matangadji (Sultan Sepuh V)
- P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI)
- P. Djoharudin (Sultan Sepuh VII)
- P. Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII)
- P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX)
- P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X)
- P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI)
- P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII)
- P.R.A.DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (Sultan Sepuh XIII)
- P.R.A Arief Natadiningrat. SE (Sultan Sepuh XIV)